Tanda Tanya

Rindi Nuris Velarosdela
6 min readOct 20, 2023

--

Aku berdiri di hadapan seseorang yang tubuhnya dipenuhi oleh selang infus. Keheningan meliputi ruangan. Itulah yang kurasakan saat mataku melayang ke sekeliling.

Melihat kondisinya tanpa sadar membuat air mata mengalir di pipiku.

“Kalau kamu masih ada di sini, apa kamu tetap mau berbincang denganku? Apakah kamu masih ramah kepadaku? Apa kamu mau maafkan aku?” Aku berbicara sendiri di hadapannya.

***

Tiga bulan sebelumnya…

“Dari mana?” tanya pria itu padaku.

Dia mengenakan kemeja putih dan memiliki potongan rambut undercut. Sorot matanya teduh, tapi aura kesulitan dalam berinteraksi terlihat pada dirinya. Namun, di situlah kebaikan tersembunyi. Kebaikan yang membuatku harus tetap menjaga jarak.

“Kenapa?” jawabku dengan santai.

“Kamu dari mana?” ulangnya pertanyaannya.

“Oh, beli makan,” jawabku singkat.

Bagiku, pendekatan sederhana sudah cukup. Toh, apa gunanya berbaik hati pada seseorang yang pernah mengabaikanku?

Ingatanku masih segar tentang bagaimana dia mengabaikanku dan memilih untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain. Selain menjaga perasaanku sendiri, sebagai seorang perempuan, aku juga tidak ingin menyakiti perempuan lain. Aku pernah berada di posisi menjadi nomor dua, dan aku tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama.

Kami masuk ke dalam lift, dan suasana langsung menjadi canggung. Hanya ada kami berdua di dalam lift itu. Tidak ada yang memulai percakapan. Sunyi. Aku ingin hubungan kami tetap sebatas rekan kerja, tidak lebih dari itu. Meskipun aku harus merasakan sakit hati sendiri, aku tetap memilih untuk melakukannya. Bagi saya, lebih baik melangkah maju tanpa harus memperdulikan hubungan yang tidak memberikan dampak apa pun dalam hidupku.

Ya, aku terdiam dengan segala pikiran yang menghantui. “What if?” Sebuah kata yang terus muncul di benakku. What if kita tidak pernah saling kenal enam bulan yang lalu? Bagaimana jika aku tidak menawarkan bantuan kepadanya enam bulan lalu? Bagaimana jika aku tidak mendengarkan keluh kesahnya enam bulan yang lalu? Bagaimana jika?

Ting…

“Kita sudah sampai,” suaranya membuyarkanku dari lamunanku.

Aku segera pergi dengan langkah gontai, tidak menyapanya. Jika aku menoleh ke arahnya, kenangan enam bulan yang lalu itu akan kembali memenuhi pikiranku.

***

Maret 2023…

“Kita juga ke lantai 27?” suara lembut namun tegas itu membuyarkan lamunanku.

“Oh, ya.”

“Aku juga ke sana, namaku Edgar. Aku baru tiba di Jakarta dua hari lalu. Aku sedang dalam perjalanan bisnis ke Jakarta.”

“Oh, begitu. Salam kenal, namaku Anna. Jangan ceritakan nanti bahwa kita satu tim, karena kita akan ke lantai 27 bersama,” aku mencoba menciptakan suasana yang santai.

“Lebih baik jika kita satu tim, karena setidaknya kita sudah saling mengenal,” katanya sambil tersenyum.

Ucapan adalah doa. Aku selalu percaya pada hal itu. Siapa sangka ucapan itu menjadi kenyataan. Kita memang satu tim. Apakah itu hanya kebetulan? Aku tidak yakin. Aku hanya tahu bahwa itu adalah awal dari kekacauan ini, awal dari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.

“Sabtu kosong, kan?” tanyanya tiba-tiba.

“Apa yang terjadi?”

“Aku ingin kamu menemaniku mengelilingi Jakarta. Kita memiliki lembur dengan klien, tapi setelah itu aku ingin berjalan-jalan, bagaimana menurutmu?”

“Baiklah. Mau ke mana?”

“Ada saran?”

“Bagaimana dengan tempat yang kamu inginkan?”

“Kamu yang lebih tahu Jakarta, bukan?”

“Kamu adalah tamu di sini, jadi mungkin kamu punya ide ke mana kita sebaiknya pergi.”

“Ini hari pertama kita bertemu, dan kita sudah mulai berdebat.”

“Kamu tidak memberikan petunjuk yang jelas, jadi aku hanya bisa mengajakmu ke mal.”

“Apa ini? Kita malah berdebat, bukannya memutuskan tujuan kita. Di Singapura, mal lebih beragam.”

“Daripada terus berdebat, lebih baik langsung pergi ke mal.”

Dia memang orang asing, tapi aku mengakui kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat bagus. Mungkin karena dia pernah tinggal di Indonesia selama setahun saat magang.

Kami baru saja bertemu sehari, tetapi aku merasa kami sudah saling mengenal lama. Mungkin kita memang pernah bersua di kehidupan sebelumnya. Atau mungkin karena aku adalah teman pertamanya, dia merasa lebih nyaman mengekspresikan dirinya. Padahal, dia tergolong orang yang tertutup dan sulit didekati.

Selama seminggu di Jakarta, kami bertemu setiap hari, menghabiskan waktu bersama. Kami berbicara, bercanda, dan saling berbagi impian kami.

“Pertama kali kamu bertemu denganku, kesan pertamamu apa?” tanyaku.

“Kamu terlalu arogan,” jawabnya sambil tertawa.

“Kamu tidak ingin tahu kesan pertamaku saat bertemu denganmu di lift?” tanyanya.

“Apa?”

“Kamu terlihat cuek,” katanya sambil tersenyum.

“Ya, memang begitulah aku. Bukan cuek, tapi lebih tidak ingin terlalu akrab dengan orang baru,” jawabku.

“Itu namanya cuek,” katanya sambil terkekeh.

Ketika bersamanya, aku merasa lebih mampu mengalah. Kata-katanya seakan memiliki daya magis. Aku yang terbiasa menjadi dominan dalam hubungan apa pun, baik pertemanan maupun percintaan, tiba-tiba menjadi lemah dan bergantung padanya.

“Mall di Indonesia lebih indah daripada di Singapura, tapi Singapura jauh lebih mahal,” katanya.

“Jadi, selama di sana, kamu hanya pergi ke mal?” tanyaku.

“Iya, atau kadang hanya duduk di taman setelah pulang kerja,” jawabnya.

“Asyik juga duduk-duduk. Jakarta memang terlalu padat,” aku menanggapi.

“Kamu suka duduk-duduk?” tanyanya.

“Suka,” jawabku.

“Dengan siapa?” tanyanya lagi.

“Sendiri, siapa lagi?” jawabku sambil tersenyum.

“Tidak punya pacar?” tanya dia.

“Tidak, bagaimana denganmu?” tanyaku balik.

“Punya,” jawabnya singkat, dan suasana menjadi canggung.

“Yuk, pergi saja. Aku harus packing, besok aku harus kembali ke Singapura,” katanya.

Percakapan kami berhenti di situ. Suasana menjadi tegang. Aku hanya bisa terdiam. Bagaimana tidak? Selama seminggu ini, aku menemani seorang pria yang sudah memiliki pacar. Mungkin tidak ada yang salah dengan keadaan itu, tapi aku tidak melihat dia lagi hanya sebagai rekan kerja. Ada perasaan yang lebih dalam. Ada perasaan kenyamanan yang sulit untuk dijelaskan.

Waktu terus berjalan. Dia kembali ke Singapura. Aku pikir hubungan kami akan berhenti di sana, tapi ternyata tidak. Kami terus berkomunikasi melalui WhatsApp selama dua bulan sejak dia pergi. Namun, kemudian pesanku tidak lagi dibalas. Aku berpikir mungkin dia memilih pacarnya daripada aku. Seharusnya memang begitu. Aku hanyalah rekan kerjanya selama di Jakarta, dan tidak mungkin aku bisa meninggalkan kesan apapun padanya. Interaksi kita hanya sebatas hubungan kerja.

Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa hari ini akan tiba. Hari di mana aku merasa sakit hati lagi. Pertemuanku dengan dia seolah menjadi awal dari kesedihan. Seandainya aku bisa memilih, aku akan menghindari setiap interaksi dengannya. Aku butuh enam bulan untuk benar-benar melupakan dan menganggapnya hanya sebagai rekan kerja biasa. Mungkin memang ada hubungan khusus antara kami, tapi itu hanya kekeliruan atau cara dia mencari tantangan baru.

Dan sekarang, aku mendengar kabar bahwa dia terbaring lemah di rumah sakit.

“Dia ingin bertemu denganmu,” kata seorang perempuan di telepon.

Aku tahu perempuan itu adalah pacarnya. Perempuan dengan wajah oriental berambut panjang. Wajah dan postur tubuhnya mengingatkanku pada penyanyi Korea Selatan, IU.

Aku pikir tidak ada salahnya jika aku menjenguknya sebagai teman. Namun, ketika aku melihat kondisinya, aku tidak tahu harus berkata apa.

“Dia sakit sejak bulan Juli. Kondisinya semakin memburuk, tapi dia tetap memilih perjalanan bisnis ke Jakarta hanya untuk bertemu denganmu. Hubungan kita sudah berakhir sejak bulan Juni karena dia mengatakan telah menemukan perempuan yang menarik di Jakarta. Itulah yang dia katakan padaku.”

“Aku merasakan sakit hati juga. Aku merasa dia terlalu sering memikirkanmu. Hingga akhirnya, aku bertanya bagaimana perasaannya terhadapmu, tapi dia tidak memberikan jawaban. Dia hanya memutuskan hubungan kita, dan dari situlah aku tahu bahwa dia menyukaimu. Hingga akhirnya aku mengetahui bahwa dia kembali ke Jakarta.”

“Tapi dia kembali dengan perasaan sedih. Dia bertemu denganku lagi setelah memutuskan hubungan tanpa sepengetahuanku. Dia mengatakan bahwa kamu sudah berubah. Kamu tidak ingin berteman dengannya lagi, padahal dia berusaha keras untuk bertemu denganmu lagi. Dia mengatakan bahwa perasaannya tidak terbalas. Dia bahkan tidak memikirkan perasaanku yang telah diputuskan, dia hanya ingin bertemu denganmu untuk menceritakan tentangmu.”

“Kamu harus tahu bahwa dia sangat menyukaimu. Dia hanya tidak tahu bagaimana cara memulai. Kamu terlalu istimewa baginya, jadi dia ingin melangkah perlahan-lahan menuju hatimu.”

Aku hanya terdiam. Sekali lagi, aku menatap Edgar yang terbaring lemah akibat pecahnya pembuluh darah. Aku memandanginya sekali lagi.

“Kenapa kita terlalu egois dan gengsi sampai menyakiti diri kita sendiri? Mengapa kamu tidak jujur padaku? Mengapa aku begitu acuh tanpa mencari tahu mengapa kamu tiba-tiba menghilang?”

“Jika kamu bangun, apakah kamu akan memaafkanku? Kamu harus bangun. Kita harus jujur dengan perasaan kita masing-masing.”

--

--

Rindi Nuris Velarosdela

I write to pour out my thoughts, feelings, or experiences, sometimes to inspire you as well